Pada suatu hari di sebuah kampung bernama Sei.
Majo, lahirlah seorang anak laki-laki dari pasangan Jamil dan Naimah.
Sebagaimana bayi muslim lainnya, ketika terlahir ke dunia ia segera diazankan
oleh sang Ayah. Adapun dalam proses kelahirannya ia dibantu oleh seorang bidan
kampung yang cukup populer dan fenomenal pada saat itu. Orang kampung Sei. Majo
mengenalnya dengan nama tuk Bedah. Belakangan bidan kampung tersebut dikabarkan
sudah meninggal dunia, ketika usianya juga memang sudah senja.
Setelah bayi itu berumur beberapa hari,
lalu diberi nama oleh sang Ayah Chusnul
Chusfi. Namun nama itu tidak populer dikalangan keluarga untuk dijadikan
sebagai nama panggilan. Lalu oleh sang nenek—yang lebih intens merawatnya pada
saat itu, dikarenakan sang ibu dalam keadaan sakit—,memanggil bayi tersebut
dengan sapaan Nawa. Nama itu, menurut
cerita ketika ia (baca: nenek) masih hidup, bahwa sang bayi paling suka makan
pisang serawak. Pokoknya asal dicomoti buah tersebut, langsung disantap tanpa
pikir panjang (emang bayi ini kren ya, dah bisa mikir.hehe..). Pada masa itu
dan lebih tepatnya di kampung itu, makanan khas seorang bayi adalah pisang
serawak. Namun bagi bayi yang kren ini, porsi yang dikonsumsinya melebihi
standar asupan bayi pada umumnya. Oleh karena itu, bayi tersebut dipanggil Nawa
yang notabene pisang serawak tersebut digemari oleh kelelawar. Jadi dari kata
kelelawar diambil secuil frasa yang mendekatinya. Didapatlah Nawa. Mantap
kan???? Hehe..
Lantas bagaimana dengan kakek?
Ternyata sang kakek juga tidak mau ketinggalan. Beliau juga ikut memberikan
nama kepada bayi tersebut. Beliau menyebutnya Abd. Muluk. Dan memang pada akhirnya, nama itu yang menjadi nama
resmi secara administrasi. Dan secara pribadi, beliau memanggilnya dengan
panggilan Muluk, hingga beliau meninggal dunia pada 1997 yang lalu.
Kemudian, bagaimana dengan nama
Chusnul Chusfi tadi? Sayang sekali, nama itu hanya tinggal sejarah yang
tertulis indah dengan tulisan tangan, miring dan berangkai (dulu dikenal dengan
istilah tulis tali) dalam sebuah buku penting dan penuh sejarah, yaitu buku
nikah sang Ayah. Namun demikian, hak patennya tetap menjadi milik sang Ayah
yang diperuntukkan bagi bayinya yang ke-3 dari 4 bersaudara itu.
Atas fenomena ini, sang Ayah sama
sekali tidak kecewa dan mempersoalkan hal tersebut. Beliau tetap menghormati
dan sangat menghargai pemberian nama oleh sang kakek untuk bayinya. Belakangan
baru disadari, bahwa sang ayah begitu demokratis, menghargai dan sangat
menghormati kaum tua. Terlebih lagi kepada orangtua dan mertuanya.
Kemudian bagaimana dengan sang ibu,
yang telah mengandung dan melahirkan? Siapakah nama yang akan diberinya kepada
bayi laki-lakinya tersebut? Ternyata sang ibu tidak memberikan nama walau satu
kata pun. Rupanya sang ibu sudah terima dengan senang hati bahwa bayinya diberi
nama Abd. Muluk dan memanggilnya dengan sapaan Nawa, sebagaimana yang telah
diberikan oleh sang nenek tadi.
Lalu, bagaimana dengan Nawa RoQes dan Abd. Muluk al Jamilie? Siapakah yang memberikan embel-embel aneh
itu? Bagaimana ceritanya? Oke! Di pembahasan yang lain akan kita ceritakan
semuanya sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan dari seorang Nawa bayi.
Sekarang kita lanjut dulu ke tahapan berikutnya.
***
Hari
demi hari, bulan pun berganti menjadi tahun, bayi yang sudah akrab dipanggil
Nawa tersebut tumbuh sehat dalam lingkungan keluarga sederhana dan biasa-biasa
saja. Dan mulai berkembang dengan banyak teman sepermainan dengan anak-anak
sekampung halaman. Pada saat itulah, Nawa kecil mengenal permainan tangkap
dinding, patuk lele, bola kaki, bola kasti, bola pocah piying, galah panjang,
gasing, layang-layang, main guli/kelereng, main kocok (kartu bergambar), main
karet, ular tangga, lawan-lawanan, kombet-kombetan, masak-masakan, main
pepondok, kalau musim banjir tiba ditambah dengan main akik (perahu batang
pisang), mengael/memancing, mengocal ikan, memanah burung, terutama burung
mobah, selindik, celicap dan murai dan segudang permainan anak-anak kampung
kala itu, yang belakangan ini permainan-permainan tersebut sudah terlihat asing
dan ketinggalan zaman. Bahkan sudah bisa dibilang permainan langka.
Begitulah keseharian Nawa kecil,
ketika belum sekolah dan berada dilingkungan teman-teman seusianya baik dari
tetangga dekat maupun tetangga yang terbilang jauh. Dan ternyata
permainan-permainan itu tidak juga berbeda ketika Nawa kecil mulai menginjakkan
kaki di sebuah sekolah dasar di Simpang Pelita RTP. Kiri. Tepatnya di SD Nomor
024 (pada saat itu) tahun 1992. Hampir bisa dikatakan, bahwa jam istirahat
sekolah intinya adalah bermain dan bermain. Dan pada saat yang bersamaan Nawa
kecil juga mengikuti sekolah sore atau yang lebih dikenal di kampung itu dengan
sebutan bekutab (sekolah agama tingkat ibtidaiyah). Dari dua tempat pendidikan
inilah Nawa kecil mempunyai banyak teman sepermainan dan seperjuangan. Bagaimana
dengan playgroup dan TK? Ternyata Nawa kecil dan begitu juga teman
sepermainannya, tidak pernah mengenyam pendidikan itu. Bahkan tidak pernah
mendengar kata itu untuk kalangan anak-anak kampung seperti Nawa Kecil. Pendidikan
formal sebelum SD itu ada, akan tetapi hanya untuk wilayah kota, tidak untuk
wilayah kampung dan terisolir sebagaimana tempat Nawa Kecil pada masa itu.
Bersambung di episode
berikutnya...!!!!
0 komentar:
Posting Komentar