Selamat Datang di Catatan Liar : theOne :-)

Rabu, 09 November 2011

Catatan Kecil : Sejak Masa Laluku (1)


Pada suatu hari di sebuah kampung bernama Sei. Majo, lahirlah seorang anak laki-laki dari pasangan Jamil dan Naimah. Sebagaimana bayi muslim lainnya, ketika terlahir ke dunia ia segera diazankan oleh sang Ayah. Adapun dalam proses kelahirannya ia dibantu oleh seorang bidan kampung yang cukup populer dan fenomenal pada saat itu. Orang kampung Sei. Majo mengenalnya dengan nama tuk Bedah. Belakangan bidan kampung tersebut dikabarkan sudah meninggal dunia, ketika usianya juga memang sudah senja.
          Setelah bayi itu berumur beberapa hari, lalu diberi nama oleh sang Ayah Chusnul Chusfi. Namun nama itu tidak populer dikalangan keluarga untuk dijadikan sebagai nama panggilan. Lalu oleh sang nenek—yang lebih intens merawatnya pada saat itu, dikarenakan sang ibu dalam keadaan sakit—,memanggil bayi tersebut dengan sapaan Nawa. Nama itu, menurut cerita ketika ia (baca: nenek) masih hidup, bahwa sang bayi paling suka makan pisang serawak. Pokoknya asal dicomoti buah tersebut, langsung disantap tanpa pikir panjang (emang bayi ini kren ya, dah bisa mikir.hehe..). Pada masa itu dan lebih tepatnya di kampung itu, makanan khas seorang bayi adalah pisang serawak. Namun bagi bayi yang kren ini, porsi yang dikonsumsinya melebihi standar asupan bayi pada umumnya. Oleh karena itu, bayi tersebut dipanggil Nawa yang notabene pisang serawak tersebut digemari oleh kelelawar. Jadi dari kata kelelawar diambil secuil frasa yang mendekatinya. Didapatlah Nawa. Mantap kan???? Hehe..
          Lantas bagaimana dengan kakek? Ternyata sang kakek juga tidak mau ketinggalan. Beliau juga ikut memberikan nama kepada bayi tersebut. Beliau menyebutnya Abd. Muluk. Dan memang pada akhirnya, nama itu yang menjadi nama resmi secara administrasi. Dan secara pribadi, beliau memanggilnya dengan panggilan Muluk, hingga beliau meninggal dunia pada 1997 yang lalu.
          Kemudian, bagaimana dengan nama Chusnul Chusfi tadi? Sayang sekali, nama itu hanya tinggal sejarah yang tertulis indah dengan tulisan tangan, miring dan berangkai (dulu dikenal dengan istilah tulis tali) dalam sebuah buku penting dan penuh sejarah, yaitu buku nikah sang Ayah. Namun demikian, hak patennya tetap menjadi milik sang Ayah yang diperuntukkan bagi bayinya yang ke-3 dari 4 bersaudara itu.
          Atas fenomena ini, sang Ayah sama sekali tidak kecewa dan mempersoalkan hal tersebut. Beliau tetap menghormati dan sangat menghargai pemberian nama oleh sang kakek untuk bayinya. Belakangan baru disadari, bahwa sang ayah begitu demokratis, menghargai dan sangat menghormati kaum tua. Terlebih lagi kepada orangtua dan mertuanya.
          Kemudian bagaimana dengan sang ibu, yang telah mengandung dan melahirkan? Siapakah nama yang akan diberinya kepada bayi laki-lakinya tersebut? Ternyata sang ibu tidak memberikan nama walau satu kata pun. Rupanya sang ibu sudah terima dengan senang hati bahwa bayinya diberi nama Abd. Muluk dan memanggilnya dengan sapaan Nawa, sebagaimana yang telah diberikan oleh sang nenek tadi.
          Lalu, bagaimana dengan Nawa RoQes dan Abd. Muluk al Jamilie? Siapakah yang memberikan embel-embel aneh itu? Bagaimana ceritanya? Oke! Di pembahasan yang lain akan kita ceritakan semuanya sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan dari seorang Nawa bayi. Sekarang kita lanjut dulu ke tahapan berikutnya.

***

Hari demi hari, bulan pun berganti menjadi tahun, bayi yang sudah akrab dipanggil Nawa tersebut tumbuh sehat dalam lingkungan keluarga sederhana dan biasa-biasa saja. Dan mulai berkembang dengan banyak teman sepermainan dengan anak-anak sekampung halaman. Pada saat itulah, Nawa kecil mengenal permainan tangkap dinding, patuk lele, bola kaki, bola kasti, bola pocah piying, galah panjang, gasing, layang-layang, main guli/kelereng, main kocok (kartu bergambar), main karet, ular tangga, lawan-lawanan, kombet-kombetan, masak-masakan, main pepondok, kalau musim banjir tiba ditambah dengan main akik (perahu batang pisang), mengael/memancing, mengocal ikan, memanah burung, terutama burung mobah, selindik, celicap dan murai dan segudang permainan anak-anak kampung kala itu, yang belakangan ini permainan-permainan tersebut sudah terlihat asing dan ketinggalan zaman. Bahkan sudah bisa dibilang permainan langka.
          Begitulah keseharian Nawa kecil, ketika belum sekolah dan berada dilingkungan teman-teman seusianya baik dari tetangga dekat maupun tetangga yang terbilang jauh. Dan ternyata permainan-permainan itu tidak juga berbeda ketika Nawa kecil mulai menginjakkan kaki di sebuah sekolah dasar di Simpang Pelita RTP. Kiri. Tepatnya di SD Nomor 024 (pada saat itu) tahun 1992. Hampir bisa dikatakan, bahwa jam istirahat sekolah intinya adalah bermain dan bermain. Dan pada saat yang bersamaan Nawa kecil juga mengikuti sekolah sore atau yang lebih dikenal di kampung itu dengan sebutan bekutab (sekolah agama tingkat ibtidaiyah). Dari dua tempat pendidikan inilah Nawa kecil mempunyai banyak teman sepermainan dan seperjuangan. Bagaimana dengan playgroup dan TK? Ternyata Nawa kecil dan begitu juga teman sepermainannya, tidak pernah mengenyam pendidikan itu. Bahkan tidak pernah mendengar kata itu untuk kalangan anak-anak kampung seperti Nawa Kecil. Pendidikan formal sebelum SD itu ada, akan tetapi hanya untuk wilayah kota, tidak untuk wilayah kampung dan terisolir sebagaimana tempat Nawa Kecil pada masa itu.
         
Bersambung di episode berikutnya...!!!!

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons