Tulisan ini telah dimuat di Posmetro Rohil pada
Kamis, 09 Desember 2011
Oleh : Abd. Muluk, mahasiswa akhir
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Penulis liar di berbagai media
massa, asal kec. Kubu, Rokan Hilir.
Sebenarnya
tidak hal baru, pemuda dan mahasiswa ikut menghiasi rubrik opini baik di koran
nasional maupun lokal. Karena sejarah kemerdekaan Indonesia juga tidak terlepas
dari peran pemuda dan mahasiswa yang aktif menulis pada saat itu.
Inilah
(baca: media massa) salah satu wadah untuk berdemonstrasi yang lebih
intelektual dan terhormat. Kritik berikut saran terhadap kinerja pemerintah
akan lebih menyentuh dan lebih mengena. Di samping bisa terbaca oleh banyak
orang, menuangkan kritik dan saran di media akan lebih efektif dan efisien.
Sehingga pemerintah tidak disibukkan oleh penyiapan pasukan pengamanan, tapi
lebih kepada menghayati dan menindakalanjuti aspirasi yang tertuang di media massa
tersebut.
Respon pemerintah
Tentunya
pemerintah tidak mungkin abai begitu saja terhadap kritik, saran dan gagasan
yang diberikan secara santun dan terhormat itu. Karena pemerintah juga manusia
yang mesti manusiawi. Yang mampu mendengarkan keluhan, jeritan, harapan dan
aspirasi rakyatnya. Karena jika tidak manusiawi, maka tidak berdosa juga ketika
masyarakat mengatakan bahwa pemerintah tidak jauh beda dengan piaraan.
Oleh
karena itu, secara sadar mari kita kembalikan kepecayaan masyarakat kepada
mahasiswa, bahwa mahasiswa itu adalah benar-benar agen perubahan. Perubahan ke
arah yang lebih baik. Bukan ke arah yang lebih menghancurkan dengan kebobrokan
sikap mahasiswa itu sendiri. Tapi dengan cara memberikan kritik berikut saran.
Ide dan gagasan yang membangun. Dan Bermitra dengan pemerintah. Bila
perlu pemerintah mengikut sertakan dalam merancang program-program pembangunan.
Karena
sesungguhnya tidak ada kesenjangan antara pemerintah dengan mahasiswa. Dalam
artian pemerintah bukanlah lawan bagi mahasiswa. Dan mahasiswa bukanlah manusia
yang menjadi momok dan penghalang bagi berjalannya program-program pembangunan.
Akan tetapi menjadi mitra yang paling ideal dan romantis.
Cerita
masalah menuangkan ide dan gagasan lewat media, hendaknya didukung juga oleh
media massa itu sendiri. Media massa memberikan ruang yang sangat luas bagi
mahasiswa untuk menampung kritik dan saran yang ditujukan kepada pemerintah.
Posisi netral media massa hendaknya menjadi jembatan yang sangat apik demi
kemajuan suatu wilayah di mana media massa itu berada.
Penulis
kira Posmetro Rohil adalah salah satu media massa yang memberikan ruang yang
cukup untuk itu. Hal ini bisa kita lihat dari tulisan-tulisan mahasiswa yang
ikut menghiasi rubrik opini ini. Jadi tidak hanya tulisan seorang profesor
doktor. Tapi juga tulisan-tulisan calon profesor doktor dan intelektual
muda lainnya.
Kesadaran
intelektual
Harapan
masyarakat kepada mahasiswa untuk perubahan masih tetap ada. Paling
tidak dalam skop wilayah yang kecil, mulai dari tingkat RT, desa dan kecamatan.
Bahkan sampai kepada tingkat kabupaten, provinsi dan bahkan indonesia.
Penulis yakin harapan itu tetap digantungkan kepada generasi muda. Lebih
tepatnya kepada kaum terpelajar saat ini.
Namun
kepercayaan dan harapan itu akan pupus manakala yang sering dinampakkan oleh
mahasiswa adalah kerusuhan dalam setiap aksi demonstrasi. Bahkan bisa lebih
parah dari itu. Bisa-bisa masyarkat menganggap bahwa mahasiswa hanyalah sampah
masyarakat yang terstruktrur dan terorganisir.
Oleh
karena itu, bagi kaum terpelajar (baca: mahasiswa), harus menyadari bahwa
status mahasiswa adalah status intelektual. Status yang bisa memberikan
sumbangsih dan kontribusi bagi masyarakat, bangsa dan negera. Di mana, masa
depan Rokan Hilir dan bangsa Indonesia ini ada di tangan dan di pundak
mahasiswa sekarang ini.***
0 komentar:
Posting Komentar