Selamat Datang di Catatan Liar : theOne :-)
Tampilkan postingan dengan label Rokan Hilir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rokan Hilir. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 April 2012

Meretas Pendidikan Berbasis Teknologi (Sebuah Tawaran Pada Hari Pendidikan Nasional)


Oleh : Abd. Muluk, alumnus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).  Asal kec. Kubu Babussalam, Rokan Hilir.
Suatu ketika salah seorang pembicara dalam sebuah seminar pendidikan di Yogyakarta menyebutkan bahwa kualitas profesor atau guru besar Indonesia-Malaysia berbanding 6 : 4. Artinya, enam orang profesor Indonesia, kualitasnya sama dengan empat orang porfesor Malayasia. Entah dengan cara apa penilaian itu diambil, namun secara akademik hal ini bisa dibuktikan melalui karya ilmiah yang telah dipublikasikan lewat  jurnal maupun buku yang diterbitkan sendiri-sendiri.
Berdasarkan data scopus (www.sciencedirect.com) per 9 Februari 2012 , tercatat National University of Singapore sebagai universitas dengan jumlah publikasi tertinggi di Singapura (64.991 publikasi), sekaligus “juara”nya ASEAN. Mahidol University sebagai yang tertinggi di Thailand (17.414 publikasi), sementara University of Malay (16.027 publikasi) mencatat jumlah publikasi tertinggi di Malaysia. Indonesia? “juara”nya ITB yang mencatatkan angka 2.029 publikasi. Memang lebih tinggi dari pada prestasi universitas “juara” dari Vietnam, Brunei, Laos, ataupun Myanmar. Tetapi tetap kalah jauh dibanding “jaura”nya Malaysia sebagai negara tetangga dan satu puak dengan kita, puak melayu.
Scopus adalah basis data yang mendata karya-karya ilmiah di seluruh dunia yang bereputasi tinggi. Data publikasi yang dicatat oleh scopus banyak dipakai sebagai salah satu alat ukur kinerja universitas secara internasional. (Djawantoro Hardjito, kompas/29/2/2012).
Terima atau tidak, itulah sebuah kenyataan secara nasional terkait kualitas pendidikan kita di negeri ini. Namun demikian, kita harus optimis bahwa suatu saat kualitas pendidikan kita akan mengungguli mereka.
Lihatlah dalam konteks kedaerahan, khususnya di kabupaten Rokan Hilir.  Lahirnya sekolah tinggi-sekolah tinggi dan akademi, seperti STIT, STAI, STIE bahkan IPDN merupakan indikasi bahwa pendidikan kita merangkak maju. Hal ini tentunya tidak terlepas dari peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan untuk putera-puteri daerah itu sendiri.
Oleh karena itu, patut diacungi jempol, betapa pemerintah daerah kita sangat memperhatikan pendidikan melalui pembangunan infrastruktur, memberikan peluang dan kesempatan untuk melanjutkan kuliah bagi guru-guru yang belum sarjana dan pelatihan-pelatihan terhadap guru yang kerap dilakukan akhir-akhir ini. Ini semua tentunya upaya mulia yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan mutu pendidikan kita terutama di kabupaten Rokan Hilir ini.
Berbasis Teknologi Informasi
Namun yang harus menjadi perhatian lagi, dalam konteks kekinian yang menjadi salah satu aspek penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan di intansi-instansi pendidikan kita adalah seberapa besar instansi pendidikan yang ada mampu menguasai teknologi informasi dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan. Karena itu, untuk alasan apapun lembaga-lembaga pendidikan yang ada selayaknya memperkenalkan dan segera memulai penggunaan teknologi informasi sebagai basis pembelajaran yang lebih terkini.
Hal ini menjadi penting, mengingat penggunaan teknologi informasi menentukan kecepatan transformasi ilmu pengetahuan kepada para peserta didik secara lebih luas. Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa pengembangan teknologi informasi untuk kepentingan pendidikan tidak dapat dilakukan tanpa kontribusi berbagai pihak termasuk para pemangku kepentingan pendidikan. Oleh karena itu, keterlibatan semua pihak, termasuk dunia usaha harus mempertimbangkan kuat dalam menciptakan sebuah sistem pembangunan pendidikan yang efektif untuk mengimbangi tingkat persaingan sebagaimana capaian-capaian fakta yang telah penulis sampaikan di atas, terhadap negara-negara tetangga kita.
Pemanfaatan teknologi informasi memang penting bagi perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan kita. Tetapi kendala yang kita hadapi saat ini adalah adanya digital gap (kesenjangan digital) yang demikian signifikan antar daerah di seluruh Indonesia. Data yang ada menunjukkan bahwa pemahaman teknologi di Indonesia, baik dalam arti  yang memahami secara baik maupun yang hanya mengenal teknologi di permukaan hanya mencapai 2 persen dari total penduduk indonesia yang berjumlah lebih dari 240 juta jiwa.
Jika dilihat lebih spesifik ke dunia pendidikan, kesenjangan penguasaan teknologi informasi dikalangan siswa juga masih sangat tinggi. Di wilayah Jawa, yang menjadi barometer pendidikan, rasio penggunaan komputer di komunitas siswa adalah 1 : 847. Artinya 1 komputer digunakan oleh 847 siswa. Bahkan di luar pulau Jawa lebih buruk lagi, yakni mencapai 1.900 siswa. Sebagai perbandingan, di Thailand pada tahun 2004 rasionya secara berturut-turut sebagai berikut : SD 1 : 90, Sekolah Menengah 1 : 24, Sekolah Kejuruan 1 : 27 dan Pendidikan Tinggi 1 : 8. (Nectec, 2004).
Pembangunan dan pengembangan pendidikan yang berbasis teknologi informasi paling tidak memberikan  keuntungan ganda yang dapat sekaligus mendorong secara cepat; terjadinya transfer atau pemindahan ilmu pengetahuan. Pertama, pengembangan pendidikan berbasis teknologi informasi dapat mendorong komunitas pendidikan (termasuk para guru) terutama pada tingkat dasar, menengan dan atas untuk lebih apresiatif dan pro-aktif dalam kerangka memaksimalkan potensi pendidikan yang ada. Kedua, pengembangan model pembelajaran tersebut sekaligus juga memberikan kesempatan luas kepada para peserta didik untuk memanfaatkan setiap potensi yang ada yang dapat diperoleh dari sumber-sumber yang tidak terbatas. (Prof. Suyanto, Ph.D dalam Dialog Interaktif Tentang Pendidikan).
Untuk itu melalui Hari Pendidikan Nasional ini, kita dan seluruh elemen masyarakat Rokan Hilir hendaknya memikirkan dan menciptakan sesegera mungkin pendidikan-pendidikan berbasis teknologi informasi, agar generasi kita berikutnya tidak terlindas oleh kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang bergerak begitu cepat dan lintas batas ini.***

Aku Anak Rohil Cinta Buku [Mengenali dan Menyintai Buku]


Oleh Abd. Muluk, penikmat buku, Alumnus Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Asal kec. Kubu Babussalam, Rokan Hilir.

Sebelum dilanjutkan, penulis ingin mengajak pembaca sekalian untuk mengatakan dengan semangat. Ayo! “Aku Anak Rohil Cinta Buku.” Oke. Mudah-mudahan, setidaknya kalimat tersebut bisa menjadi energi dan semangat baru bagi kita untuk lebih mencintai dan menyayangi buku. Jika dirasa kurang, bisa diulangi sekali lagi. Ayo! Aku Anak Rohil Cinta Buku!!! Cukup.

Pembaca. Mungkin ada di antara kita yang terlupa, bahwa pada 23 April 2012 yang lalu, adalah Hari Buku Sedunia. Sedangkan pada 17 Mei mendatang merupakan Hari Buku Nasional—Jadi pada hari itu tidak hanya tanggal merah untuk memperingati hari Waisak (bagi yang memperingatinya)—. Jika kalender yang ada di rumah kita tidak ada menyantumkan hal itu, mari kita lihat kalender agenda Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) secara online. Jika tidak bisa online, anggaplah tulisan ini sebagai perantara dari kalender itu.

Sekedar untuk kita ketahui, bahwa di AS, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, sedangkan Indonesia masih 0 buku. (republika.co.id)

Sejarah Perkembangan Buku
Sebagai refleksi, sejenak kita mengulang sejarah bagaimana perkembangan buku di Indonesia ini. Dari berbagai sumber yang penulis temukan, sebuah buku lahir dari perkembangan kebutuhan akan pentingnya komunikasi dan informasi, serta kemampuan daya pikir manusia sekaligus kelemahan daya tampung pikiran manusia. Di zaman kuno, tradisi komunikasi dan penyampaian informasi berupa syair, doa-doa, maupun cerita masih bersifat lisan, disampaikan dari mulut ke mulut, sehingga metode menghafal menjadi sebuah ciri tradisi masa ini. Semakin lama, informasi yang harus dihafal pun semakin banyak, sedangkan kapasitas memori mereka kian melemah. Mereka akhirnya berpikir untuk menuangkan beragam informasi ini melalui tulisan juga gambar. Karena itu, Sejarah perkembangan buku tidak lepas dari perkembangan tulisan. Tulisan hieroglif bangsa Mesir Kuno, tulisan pada keping-keping batu berupa prasasti, tulisan-tulisan pada daun lontar atau papyrus, serta tulisan pada kulit-kulit binatang dapat dikatakan sebagai buku kuno.

Para peneliti sejarah menyatakan bahwa tulisan pertama yang tersusun secara alfabet ditemukan di Mesir pada tahun 1800 SM. Tentu saja bentuknya sangat berbeda dengan buku yang kita kenal sekarang. Buku yang dibuat bangsa Mesir ini menggunakan lapisan papyrus, yakni tumbuhan sejenis alang-alang yang banyak tumbuh di tepi sungai Nil. Papirus dipipihkan hingga membentuk lembaran. Kumpulan lembaran ini kemudian digulung dan disebut buku. Buku pertama yang ditulis di lembaran papyrus berkisah tentang Raja Neferirkare Kaki pada Dinasti Kelima, sekitar 2400 SM. Tulisan pada papyrus ini juga banyak digunakan oleh bangsa Romawi. Dalam perkembangannya, panjang gulungan papyrus bisa mencapai puluhan meter, sehingga merepotkan orang yang menulis dan membacanya. Gulungan papyrus terpanjang terdapat di British Museum London. Panjangnya mencapai 40,5 meter.

Kesulitan menggunakan gulungan papyrus ini kemudian melahirkan sebuah inovasi di zaman itu. Sejalan dengan keinginan dan kebutuhan untuk meningkatkan sisi kemudahan dalam peradabannya, maka di awal Abad Pertengahan gulungan papyrus digantikan oleh lembaran kulit domba terlipat yang dilindungi oleh kulit kayu yang keras yang dinamakan codex. Selain codex, orang juga mengenal manuskrip sebagai bentuk yang hampir sama dengan codex, yakni kulit binatang sampulnya terbuat dari kayu. Codex sering disebut sebagai kumpulan naskah kuno yang berisi ajaran agama. Kata codex diambil dari bahasa Latin, yang berarti blok kayu.

Balok kayu ini kemudian dilapisi lilin di atasnya hingga tmembentuk sebuah buku kuno. Kelebihan codex dibanding papyrus ialah dapat dipakai ulang. Ketika ingin menulis yang baru, lapisan lilinnya dipanakan hingga meleleh dan kosong. Barulah menulis. Tulisan tangan dalam codex dan manuskrip dianggap sebagai tulisan yang mulai tersusun secara rapi.
Pada pertengahan Abad V, terjadi perkembangan yang signifikan dari codex. Masyarakat di Timur Tengah mulai menggunakan kulit domba untuk menulis. Kulit domba disamak dan dibentangkan hingg membentuk lembaran. Lembar kulit domba ini disebut pergamenum dan selanjutnya disebut perkamen, artinya kertas kulit. Lembaran kulit domba ini kemudian disusun secara berlipat, diikat di salah satu sisinya dengan menggunakan jepitan dari kulit, sehingga lebih mudah digunakan. Perkamen dianggap sebagai bentuk awal dari buku berjilid.

Buku yang serupa dengan yang kita kenal sekarang, berkembang di Zaman Pertengahan. Bahan dasarnya terbuat dari kulit anak sapi (vellum). Vellum dibuat menjadi lembaran, dan setiap lembarnya dilipat di bagian tengahnya. Vellum lebih tebal daripada perkamen, sehingga kedua sisinya bisa ditulisi. Setiap empat lembar vellum menjadi delapan halaman dan dianggap sebagai satu bagian/satu buku. Bagian yang sudah selesai itu dijahit di bagian belakang. Kedua bagian depan dan belakang kemudian dilapisi kayu, ditutup kembali dengan kulit, sehingga hasilnya seperti buku yang dipakai sekarang. Cina dan Jepang merupakan bangsa yang mengembangkan teknologi lebih cepat dan sederhana dalam mengubah bentuk buku gulungan menjadi buku bersusun dan berlipat yang diapit sampul, hingga bentuknya seperti lipatan kain gorden.

Semua buku kuno tersebut ditulis tangan. Isi tulisannya berupa berita/pengumuman, kisah pengembaraan dan penaklukkan suatu wilayah, serta pemikiran dan perjalanan spiritual mereka. Kebanyakan tulisan yang dibukukan ialah kitab-kitab suci yang berisikan ajaran keagamaan. Kegiatan menulis dan membukukan ajaran agama ini dilakukan banyak biarawan atau pendeta di tahun 500-an. Mereka menghabiskan waktu untuk membuat buku dengan tulisan tangan sendiri, menggunakan huruf yang dilengkapi dengan gambar dan hiasan berwarna. Pekerjaan yang menghabiskan banyak waktu dan memerlukan ketelitian tinggi. Mereka lakukan semua itu dengan ketekunan dan semangat spiritual yang tinggi untuk menunjukkan pengabdian kepada Sang Pencipta. Karena itulah, buku/kitab kuno sangat berharga, sebagaimana berharganya hidup, peristiwa dan perjalanan hidup juga kemampuan menuliskan kisah hidup yang mereka miliki.

Perkembangan pembuatan buku tidak lepas dari peran signifikan pembuat kertas asal Cina Tsai Lun. Sekitar tahun 105 M, ia menyerahkan contoh kertas kepada Kaisar Ho Ti. Pembuatan kertas sendiri telah dilakukan sejak Abad ke-11 M, kemudian digunakan secara massal di abad ke-16 M. Hasil penciptaan kertas ini telah membawa Cina menjadi pengekspor kertas satu-satunya di dunia pada Abad ke-2 M. Pada pertengahan tahun 800-an, buku mulai mengalami perubahan dan perkembangan yang signifikan dari segi pembuatannya. Tahun 868 M, para peneliti menemukan Diamond Sutta, sebuah buku dengan cetakan paling tua. Tulisan pada buku ini masih menggunakan huruf seperti huruf Cina (tulisan berderet ke bawah, tidak ke samping), serta dipenuhi gambar.

Penemuan dan pembuatan kertas menjadi tonggak perkembangan pembuatan buku. Di Cina, orang mulai menuliskan karyanya melalui pencetak huruf yang terbuat dari balok kayu. Perkembangan perbukuan di cina selanjutnya menginspirasi warga Eropa. Johanes Gensleich Zur Laden Zum Gutenberg yang berkebangsaan Jerman menemukan cara pencetakan buku dengan huruf-huruf logam yang terpisah. Huruf-huruf itu bisa dibentuk menjadi kata atau kalimat. Gutenberg kemudian melengkapi ciptaannya dengan mulai membuat mesin cetak pada abad ke-15. Namun, tetap saja untuk menyelesaikan satu buah buku diperlukan waktu agak lama karena mesinnya kecil dan jumlah huruf yang digunakan terbatas. Kelebihannya, mesin cetak Gutenberg mampu menggandakan cetakan dengan cepat dan jumlah yang banyak.

Teknik cetak yang ditemukan Gutenberg bertahan hingga abad ke-20 sebelum akhirnya ditemukan teknik cetak yang lebih sempurna, yakni pencetakan offset, yang ditemukan pada pertengahan abad ke-20. Pembuatan mesin cetak oleh Guttenberg menandai proses awal menuju modernisasi pembuatan buku. Pada tahun 1800 M, ditemukan mesin pencetak kertas yang memakai tenaga uap dan bisa mencetak 1100 lembar/jam. Selanjutnya, di akhir abad ke-19 ditemukan lagi mesin yang bisa menyusun 6000 kata/jam dan semuanya sekali ketik. (sumber : Nia Hidayati; Tell Me When – Science and Technology; www.penulissukses.com; ms.wikipwdia.org)

Buku di Era Sekarang
Di era modern sekarang ini mesin-mesin offset itu mampu mencetak ratusan ribu eksemplar buku dalam waktu singkat. Hal itu diikuti pula dengan penemuan mesin komputer sehingga memudahkan untuk setting (menyusun huruf) dan lay out (tata letak halaman). Diikuti pula penemuan mesin penjilidan, mesin pemotong kertas, scanner (alat pengkopi gambar, ilustrasi, atau teks yang bekerja dengan sinar laser ingga bisa diolah melalui computer), dan juga printer laser (alat pencetak yang menggunakan sumber sinar laser untuk menulis pada kertas yang kemudian di taburi serbuk tinta).

Semua penemuan menakjubkan itu telah menjadikan buku-buku sekarang ini mudah dicetak dengan sangat cepat, dijilid dengan sangat bagus, serta hasil cetakan dan desain yang sangat bagus pula. Tak mengherankan bila sekarang ini kita dapati berbagai buku terbit silih berganti dengan penampilan yang semakin menarik.

Bahkan sampai sekarang ini pun, di negara kita Indonesia, kendati sedang diterpa krisis, kondisi ekonomi masih gonjang-ganjing, tapi penerbit-penerbit buku malahan bermunculan. Banyak sekali jumlahnya, hingga tak terhitung, khusunya di Jogjakarta. Tak tersedia data yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak juga di Ikatan Penerbit Indonesia [IKAPI]. Sebab tidak semua penerbit bergabung dengan lembaga ini.

Namun, dari pengamatan sekilas saja, kita akan dapat segera menyimpulkan, betapa penerbit-penerbit buku saat ini semakin banyak saja jumlahnya. Tengoklah, di toko-toko buku yang ada di berbagai kota di negeri ini, maka akan kita jumpai, berderet-deret bahkan bertumpuk-tumpuk buku-buku baru terbit silih berganti bak musim semi dengan beragam judul dan beraneka desain sampul yang menawan dari berbagai penerbit, baik dari penerbit besar yang sudah mapan dan lebih dulu eksis, maupun dari penerbit kecil yang baru merintis dan masih kembang-kempis. Animo masyarakat pun terhadap buku nampak juga mengalami peningkatan. Ini nampak dari banyaknya buku-buku bestseller yang laris manis diserbu masyarakat.

Memang, dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta orang, sungguh mengherankan bahwa sebuah judul buku yang laku beberapa ribu saja sudah terasa menyenangkan dan dianggap bestseller. Akan tetapi, kondisi ini tentu jauh lebih baik bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. (Sumber : Badiatul Muchlisin Astii; Mengenal Sejarah Buku)

Sabtu, 03 Maret 2012

School Zone, Ruang Segala Ekspresi (Sebuah Memori)


Ket : Cerita ini telah dimuat di Posmetro Rohil, Rubrik SchoolZone pada Sabtu, 03 Maret 2012

Mantap..!!! inilah ungkapan yang pertama kali keluar dari mulutku ketika melihat halaman School Zone, setelah seorang teman dari Rokan Hilir membawa Posmetro Rohil ke Yogyakarta beberapa hari yang lalu. Halaman khusus yang dipersembahkan bagi para guru dan siswa untuk menuangkan segala macam bentuk keahlian dalam dunia tulis menulis. Baik itu opini, puisi, cerpen, barangkali juga cerbung (cerita bersambung) dan cergam (cerita bergambar).Tidak hanya itu, ternyata School Zone juga menerima berita dan foto-foto kegiatan sekolah.

Lalu pertanyaanku untuk adik-adik pelajar Rokan Hilir adalah, tidakkah kalian tertarik untuk tampil di sini? Bereskpresi sambil belajar menerapkan apa yang telah dan sedang dipelajari di bangku sekolah? Aku percaya, kalian pasti tertarik. Bagaimana tidak, jika kalian hadir di sini dalam bentuk apa saja, entah penulis cerpen, penulis puisi, penulis artikel, atau foto kalian dipajang di sini, tidak hanya kamu yang bangga. Sekolah, guru-guru, orang tua, bahkan aku juga ikut dan sangat bangga. Karena semua kebanggaan itu adalah kebanggaan Rokan Hilir bahwa kamu adalah aset masa depan daerah ini yang memang dan patut untuk dibanggakan.

Di sini, untuk mengawali cerita pendek dan kisah nyata, perkenankan aku untuk menulis memori keberangkatanku ke Yogayakarta pada medio 2005 yang lalu. Cerita ini kurangkum dari buku perdanaku “Sang Metamorfosa” yang diterbitkan oleh Modya Karya, Yogyakarta pada akhir 2010 yang lalu. Cerita ini semata-mata untuk merangsang adik-adik pelajar semua, agar terbitan berikutnya, aku dan pembaca School Zone yang lain membaca cerita kalian di halaman yang sama dan tentunya episode berbeda.

Ceritanya begini. Malam itu,  awal Juli 2005 sekitar pukul 19.30 wib bakda shalat Isya, aku membantu Omak menyiapkan makan malam (ha..ha..sok rajin). Tiba-tiba, Roni—salah seorang teman SMA-ku di SMA N 1 Kubu, sekaligus ketua OSIS tahun 2004—datang dan langsung menghampiriku. Tanpa basa basi dia bilang, “kito kuliah di Jogja ajo yok mek...!” Aku yang dari tadi mondar mandir di ruang dapur tersebut, langsung kaget. Karena tidak pernah sedikit pun dibenakku terlintas untuk kuliah sejauh itu. Aku diam saja.

Sambil menata jantung yang masih deg-degan, hidangan makan malam pun siap untuk disantap. Tanpa obrolan panjang, Roni kuajak menikmati masakan Omak malam itu, dan kami makan malam bersama dengan anggota keluarga yang lain.

Setelah makan malam selesai, ajakan Roni tersebut kusampaikan ke Apak yang waktu itu, beliau lagi duduk santai di ruang tamu sambil menikmati rokok Nero dan kopi pahitnya (sebuah ritual khusus yang sebenarnya kurang baik untuk dicontoh, tapi bagaimana lagi, sudah terlanjur basah.hehe...). Setelah mengingat-ingat dan menimbang-nimbang, maka diputuskan oleh Apak atas izin Omak, aku dibolehkan kuliah di Yogyakarta.

Setelah malam itu, persiapan demi persiapan yang dianggap penting mulai kulengkapi dengan serba kilat. Mulai dari KTP, legalisir Ijazah, legalisir Nilai, Pasfoto, Surat Kesehatan dan syarat adminintrasi lainnya sesuai dengan informasi yang kudapatkan sebelumnya melalui teman yang beberapa tahun sudah di Yogyakarta. Begitu juga dengan pakaian. Semuanya kukemas dalam sebuah tas ransel dan siap untuk dibawa.

Tibalah pada hari keberangkatan. Di mana cuaca pada hari itu agak mendung. Situasi dan kondisi itu pula yang membuat hatiku terasa berat untuk meninggalkan kampung halaman. Karena selama ini, aku tidak pernah ke kota, apalagi bepergian hingga melintasi provinsi-provinsi bahkan menyeberang pulau Sumatera-Jawa.
Mungkin inilah awal dari kehidupanku untuk mandiri di perantauan. Dan hidup berkelana akan segera dimulai. Kala itu aku berfikir, “aku harus kuat dan Aku harus dewasa”.

Tepat pada hari Selasa, 05 Juli 2005 pukul 11.30 wib, aku berangkat dan meninggalkan Kubu (kampung halaman tercinta) melalui kota Pekanbaru menuju Yogyakarta. Sebuah kota yang waktu itu hanya kudengar dari cerita orang-orang dan buku-buku pelajaran di sekolah. Sebuah kota yang tidak pernah aku mimpikan sebelumnya.

Akhirnya, Sabtu 06 Juli 2005 dini hari, aku tiba di Yogyakarta. Sebuah perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Sekian. Inilah sekilas ceritaku. Lalu mana ceritamu?!

Oleh Abd. Muluk, alumni SMA N 1 Kubu, sedang menulis tugas akhir di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons