Oleh Abd. Muluk, penikmat buku, Alumnus Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Asal kec. Kubu
Babussalam, Rokan Hilir.
Sebelum dilanjutkan, penulis ingin mengajak pembaca sekalian
untuk mengatakan dengan semangat. Ayo! “Aku Anak Rohil Cinta Buku.” Oke.
Mudah-mudahan, setidaknya kalimat tersebut bisa menjadi energi dan semangat
baru bagi kita untuk lebih mencintai dan menyayangi buku. Jika dirasa kurang,
bisa diulangi sekali lagi. Ayo! Aku Anak Rohil Cinta Buku!!! Cukup.
Pembaca.
Mungkin ada di antara kita yang terlupa, bahwa pada 23 April 2012 yang lalu,
adalah Hari Buku Sedunia. Sedangkan pada 17 Mei mendatang merupakan Hari Buku
Nasional—Jadi pada hari itu tidak hanya tanggal merah untuk memperingati hari Waisak
(bagi yang memperingatinya)—. Jika kalender yang ada di rumah kita tidak ada
menyantumkan hal itu, mari kita lihat kalender agenda Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) secara online. Jika tidak bisa online, anggaplah tulisan ini sebagai
perantara dari kalender itu.
Sekedar untuk kita ketahui, bahwa di AS, jumlah buku
yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku,
Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku,
Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, sedangkan Indonesia masih 0 buku.
(republika.co.id)
Sejarah Perkembangan Buku
Sebagai
refleksi, sejenak kita mengulang sejarah bagaimana perkembangan buku di
Indonesia ini. Dari berbagai sumber yang penulis temukan, sebuah buku lahir
dari perkembangan kebutuhan akan pentingnya komunikasi dan informasi, serta kemampuan
daya pikir manusia sekaligus kelemahan daya tampung pikiran manusia. Di zaman
kuno, tradisi komunikasi dan penyampaian informasi berupa syair, doa-doa,
maupun cerita masih bersifat lisan, disampaikan dari mulut ke mulut, sehingga metode
menghafal menjadi sebuah ciri tradisi masa ini. Semakin lama, informasi yang
harus dihafal pun semakin banyak, sedangkan kapasitas memori mereka kian
melemah. Mereka akhirnya berpikir untuk menuangkan beragam informasi ini
melalui tulisan juga gambar. Karena itu, Sejarah perkembangan buku tidak lepas
dari perkembangan tulisan. Tulisan hieroglif bangsa Mesir Kuno, tulisan pada
keping-keping batu berupa prasasti, tulisan-tulisan pada daun lontar atau
papyrus, serta tulisan pada kulit-kulit binatang dapat dikatakan sebagai buku
kuno.
Para
peneliti sejarah menyatakan bahwa tulisan pertama yang tersusun secara alfabet
ditemukan di Mesir pada tahun 1800 SM. Tentu saja bentuknya sangat berbeda
dengan buku yang kita kenal sekarang. Buku yang dibuat bangsa Mesir ini menggunakan
lapisan papyrus, yakni tumbuhan sejenis alang-alang yang banyak tumbuh di tepi
sungai Nil. Papirus dipipihkan hingga membentuk lembaran. Kumpulan lembaran ini
kemudian digulung dan disebut buku. Buku pertama yang ditulis di lembaran
papyrus berkisah tentang Raja Neferirkare Kaki pada Dinasti Kelima, sekitar
2400 SM. Tulisan pada papyrus ini juga banyak digunakan oleh bangsa Romawi.
Dalam perkembangannya, panjang gulungan papyrus bisa mencapai puluhan meter,
sehingga merepotkan orang yang menulis dan membacanya. Gulungan papyrus
terpanjang terdapat di British Museum London. Panjangnya mencapai 40,5 meter.
Kesulitan
menggunakan gulungan papyrus ini kemudian melahirkan sebuah inovasi di zaman
itu. Sejalan dengan keinginan dan kebutuhan untuk meningkatkan sisi kemudahan
dalam peradabannya, maka di awal Abad Pertengahan gulungan papyrus digantikan
oleh lembaran kulit domba terlipat yang dilindungi oleh kulit kayu yang keras
yang dinamakan codex. Selain codex, orang juga mengenal manuskrip sebagai
bentuk yang hampir sama dengan codex, yakni kulit binatang sampulnya terbuat
dari kayu. Codex sering disebut sebagai kumpulan naskah kuno yang berisi ajaran
agama. Kata codex diambil dari bahasa Latin, yang berarti blok kayu.
Balok kayu ini kemudian dilapisi lilin di atasnya hingga tmembentuk sebuah buku kuno. Kelebihan codex dibanding papyrus ialah dapat dipakai ulang. Ketika ingin menulis yang baru, lapisan lilinnya dipanakan hingga meleleh dan kosong. Barulah menulis. Tulisan tangan dalam codex dan manuskrip dianggap sebagai tulisan yang mulai tersusun secara rapi.
Pada
pertengahan Abad V, terjadi perkembangan yang signifikan dari codex. Masyarakat
di Timur Tengah mulai menggunakan kulit domba untuk menulis. Kulit domba
disamak dan dibentangkan hingg membentuk lembaran. Lembar kulit domba ini disebut
pergamenum dan selanjutnya disebut perkamen, artinya kertas kulit. Lembaran
kulit domba ini kemudian disusun secara berlipat, diikat di salah satu sisinya
dengan menggunakan jepitan dari kulit, sehingga lebih mudah digunakan. Perkamen
dianggap sebagai bentuk awal dari buku berjilid.
Buku
yang serupa dengan yang kita kenal sekarang, berkembang di Zaman Pertengahan.
Bahan dasarnya terbuat dari kulit anak sapi (vellum). Vellum dibuat menjadi
lembaran, dan setiap lembarnya dilipat di bagian tengahnya. Vellum lebih tebal
daripada perkamen, sehingga kedua sisinya bisa ditulisi. Setiap empat lembar
vellum menjadi delapan halaman dan dianggap sebagai satu bagian/satu buku.
Bagian yang sudah selesai itu dijahit di bagian belakang. Kedua bagian depan
dan belakang kemudian dilapisi kayu, ditutup kembali dengan kulit, sehingga
hasilnya seperti buku yang dipakai sekarang. Cina dan Jepang merupakan bangsa
yang mengembangkan teknologi lebih cepat dan sederhana dalam mengubah bentuk
buku gulungan menjadi buku bersusun dan berlipat yang diapit sampul, hingga
bentuknya seperti lipatan kain gorden.
Semua
buku kuno tersebut ditulis tangan. Isi tulisannya berupa berita/pengumuman,
kisah pengembaraan dan penaklukkan suatu wilayah, serta pemikiran dan
perjalanan spiritual mereka. Kebanyakan tulisan yang dibukukan ialah
kitab-kitab suci yang berisikan ajaran keagamaan. Kegiatan menulis dan
membukukan ajaran agama ini dilakukan banyak biarawan atau pendeta di tahun
500-an. Mereka menghabiskan waktu untuk membuat buku dengan tulisan tangan sendiri,
menggunakan huruf yang dilengkapi dengan gambar dan hiasan berwarna. Pekerjaan
yang menghabiskan banyak waktu dan memerlukan ketelitian tinggi. Mereka lakukan
semua itu dengan ketekunan dan semangat spiritual yang tinggi untuk menunjukkan
pengabdian kepada Sang Pencipta. Karena itulah, buku/kitab kuno sangat
berharga, sebagaimana berharganya hidup, peristiwa dan perjalanan hidup juga kemampuan
menuliskan kisah hidup yang mereka miliki.
Perkembangan
pembuatan buku tidak lepas dari peran signifikan pembuat kertas asal Cina Tsai
Lun. Sekitar tahun 105 M, ia menyerahkan contoh kertas kepada Kaisar Ho Ti.
Pembuatan kertas sendiri telah dilakukan sejak Abad ke-11 M, kemudian digunakan
secara massal di abad ke-16 M. Hasil penciptaan kertas ini telah membawa Cina
menjadi pengekspor kertas satu-satunya di dunia pada Abad ke-2 M. Pada pertengahan
tahun 800-an, buku mulai mengalami perubahan dan perkembangan yang signifikan
dari segi pembuatannya. Tahun 868 M, para peneliti menemukan Diamond Sutta,
sebuah buku dengan cetakan paling tua. Tulisan pada buku ini masih menggunakan
huruf seperti huruf Cina (tulisan berderet ke bawah, tidak ke samping), serta
dipenuhi gambar.
Penemuan
dan pembuatan kertas menjadi tonggak perkembangan pembuatan buku. Di Cina,
orang mulai menuliskan karyanya melalui pencetak huruf yang terbuat dari balok
kayu. Perkembangan perbukuan di cina selanjutnya menginspirasi warga Eropa. Johanes
Gensleich Zur Laden Zum Gutenberg yang berkebangsaan Jerman menemukan cara
pencetakan buku dengan huruf-huruf logam yang terpisah. Huruf-huruf itu bisa
dibentuk menjadi kata atau kalimat. Gutenberg kemudian melengkapi ciptaannya dengan
mulai membuat mesin cetak pada abad ke-15. Namun, tetap saja untuk
menyelesaikan satu buah buku diperlukan waktu agak lama karena mesinnya kecil
dan jumlah huruf yang digunakan terbatas. Kelebihannya, mesin cetak Gutenberg
mampu menggandakan cetakan dengan cepat dan jumlah yang banyak.
Teknik
cetak yang ditemukan Gutenberg bertahan hingga abad ke-20 sebelum akhirnya
ditemukan teknik cetak yang lebih sempurna, yakni pencetakan offset, yang
ditemukan pada pertengahan abad ke-20. Pembuatan mesin cetak oleh Guttenberg
menandai proses awal menuju modernisasi pembuatan buku. Pada tahun 1800 M,
ditemukan mesin pencetak kertas yang memakai tenaga uap dan bisa mencetak 1100 lembar/jam.
Selanjutnya, di akhir abad ke-19 ditemukan lagi mesin yang bisa menyusun 6000
kata/jam dan semuanya sekali ketik. (sumber : Nia Hidayati; Tell Me When –
Science and Technology; www.penulissukses.com; ms.wikipwdia.org)
Buku di Era Sekarang
Di
era modern sekarang ini mesin-mesin offset itu mampu mencetak ratusan ribu
eksemplar buku dalam waktu singkat. Hal itu diikuti pula dengan penemuan mesin
komputer sehingga memudahkan untuk setting (menyusun huruf) dan lay out (tata
letak halaman). Diikuti pula penemuan mesin penjilidan, mesin pemotong kertas,
scanner (alat pengkopi gambar, ilustrasi, atau teks yang bekerja dengan sinar
laser ingga bisa diolah melalui computer), dan juga printer laser (alat pencetak
yang menggunakan sumber sinar laser untuk menulis pada kertas yang kemudian di
taburi serbuk tinta).
Semua
penemuan menakjubkan itu telah menjadikan buku-buku sekarang ini mudah dicetak
dengan sangat cepat, dijilid dengan sangat bagus, serta hasil cetakan dan
desain yang sangat bagus pula. Tak mengherankan bila sekarang ini kita dapati
berbagai buku terbit silih berganti dengan penampilan yang semakin menarik.
Bahkan
sampai sekarang ini pun, di negara kita Indonesia, kendati sedang diterpa
krisis, kondisi ekonomi masih gonjang-ganjing, tapi penerbit-penerbit buku
malahan bermunculan. Banyak sekali jumlahnya, hingga tak terhitung, khusunya di
Jogjakarta. Tak tersedia data yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak juga di
Ikatan Penerbit Indonesia [IKAPI]. Sebab tidak semua penerbit bergabung dengan
lembaga ini.
Namun,
dari pengamatan sekilas saja, kita akan dapat segera menyimpulkan, betapa
penerbit-penerbit buku saat ini semakin banyak saja jumlahnya. Tengoklah, di
toko-toko buku yang ada di berbagai kota di negeri ini, maka akan kita jumpai,
berderet-deret bahkan bertumpuk-tumpuk buku-buku baru terbit silih berganti bak
musim semi dengan beragam judul dan beraneka desain sampul yang menawan dari berbagai
penerbit, baik dari penerbit besar yang sudah mapan dan lebih dulu eksis,
maupun dari penerbit kecil yang baru merintis dan masih kembang-kempis. Animo
masyarakat pun terhadap buku nampak juga mengalami peningkatan. Ini nampak dari
banyaknya buku-buku bestseller yang laris manis diserbu masyarakat.
Memang,
dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta orang,
sungguh mengherankan bahwa sebuah judul buku yang laku beberapa ribu saja sudah
terasa menyenangkan dan dianggap bestseller.
Akan tetapi, kondisi ini tentu jauh lebih baik bila dibanding dengan tahun-tahun
sebelumnya. (Sumber : Badiatul Muchlisin Astii; Mengenal Sejarah Buku)
0 komentar:
Posting Komentar