Tulisan ini telah
dimuat di Posmetro Rohil Pada 14 Feb 2012
Oleh : Abd. Muluk, Pelajar
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), asal
kec. Kubu, Rokan Hilir.
Valentine Day? Iya, Valentine Day. Hari 'kasih sayang'
yang dirayakan oleh orang-orang Barat pada tahun-tahun terakhir disebut
'Valentine Day'. Merebak dan sangat populer pula di kota-kota besar di
Indonesia seperti Jakarta, Medan, Pekanbaru, Bandung Jogja dan tidak
ketinggalan pula di daerah kita Rokan Hilir ini.
Lebih-lebih lagi ketika memasuki bulan Februari kemarin di mana banyak kita temui jargon-jargon atau iklan-iklan yang menggambarkan sesuatu demi untuk mengekspos Valentine. Hal ini didukunga oleh media massa seperti surat kabar, radio maupun televisi.
Sejarah singkatnya,
menurut data dari Ensiklopedi Katolik, Valentine diduga bisa merujuk pada
tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda.
Hubungan antara
ketiga martir ini dengan hari raya kasih sayang (valentine) tidak jelas. Bahkan
Paus Gelasius I, pada tahun 496, menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang
diketahui mengenai martir-martir ini. Namun hari 14 Februari ditetapkan sebagai
hari raya peringatan santo Valentinus. Ada yang mengatakan bahwa Paus Gelasius
I sengaja menetapkan hal ini untuk mengungguli hari raya Lupercalia yang
dirayakan pada tanggal 15 Februari. Santo atau Orang Suci yang di maksud yaitu
: (1) Pastur di Roma, (2) Uskup Interamna (modern Terni), (3) Martir di
provinsi Romawi Afrika.
Ketidakjelasan
sejarah itu membuat penulis penasaran dan mencari tahu lebih lanjut melalui
berbagai sumber, demi alasan atau pijakan yang kuat, mengapa Valentin
seakan-akan begitu akrab dengan kita? Dan dari sana kemudian, baru muncul
pertanyaan berikutnya, pantaskah Valentin itu ikut kita rayakan? Setelah
membaca berbagai sumber, penulis mencoba merangkum sekilas sejarahnya.
Tepat pada tanggal
14 Februari 270 M, Valentine dibunuh karena pertentangannya dengan penguasa
Romawi pada waktu itu yaitu Raja Claudius II (268 - 270 M). Untuk
mengagungkannya (Valentine), yang dianggap sebagai simbol ketabahan, keberanian
dan kepasrahan dalam menghadapi cobaan hidup, maka para pengikutnya
memperingati kematian Valentine sebagai 'upacara keagamaan'.
Tetapi sejak abad 16
M, 'upacara keagamaan' tersebut mulai hilang dan berubah menjadi 'perayaan
bukan keagamaan'. Hari Valentine kemudian dihubungkan dengan pesta jamuan kasih
sayang bangsa Romawi kuno yang disebut “Supercalis” yang jatuh pada tanggal 15
Februari.
Setelah orang-orang Romawi itu masuk agama
Nasrani (Kristiani), pesta 'supercalis' kemudian dikaitkan dengan upacara
kematian Valentine. Penerimaan upacara kematian St. Valentine sebagai 'hari
kasih sayang' juga dikaitkan dengan kepercayaan orang Eropa bahwa waktu 'kasih
sayang' itu mulai bersemi 'bagai burung jantan dan betina' pada tanggal 14
Februari.
Dengan berkembangnya
zaman, seorang 'martir' bernama Valentine mungkin akan terus bergeser jauh
pengertiannya(jauh dari arti yang sebenarnya). Kita pada zaman sekarang tidak
lagi mengetahui dengan jelas asal usul hari Valentine. Di mana pada zaman
sekarang orang mengenal Valentine lewat kartu ucapan, updetan facebook, mulut
ke mulut, tukaran kado dan sebagainya tanpa ingin mengetahui latar belakang
sejarahnya lebih dari 1700 tahun yang lalu. Sehingga yang terjadi di kalangan
kita adalah sebuah tradisi yang penulis sebut sebagai tradisi latah. Yaitu
ikut-ikutan tanpa memfilterisasi atau menyaring terlebih dahulu apa sebenarnya
yang sedang kita lakukan.
Sebagai muslim, kita
tetap berpedoman kepada al Qur’an dan Hadits sebagai petunjuk dalam menjalankan
setiap aktivitas di muka bumi ini. Terlebih lagi dalam konteks akidah,
sebenarnya tidak ada alasan yang memantaskan kita untuk ikut merayakannya.
Cukuplah dua hadits
Rasulullah saw berikut ini sebagai peringatan setiap kita yang meyakini bahwa
Muhammad saw adalah utusan Allah dan suri tauladan kita. Sabda beliau “barang
siapa bertasyabbuh (meyerupai) suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum
tersebut” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad shahih). Kemudian sabdanya lagi
“sungguh kalian benar-benar akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian,
sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai jika seandainya
mereka memasuki lubang dhabb (sejenis biawak) niscaya kalian akan ikut pula”.
Para sahabat bertanya “ wahai Rasulullah, (mereka itu) Yahudi dan Nasrani?”.
Rasul menjawab “siapa lagi?” (HR. Bukhari-Muslim) .
Oleh karena itu,
perlu kita renungkan sejenak, sudah berapa jauhkah kita mengayunkan langkah mengelu-elukan
(memuja-muja) Valentine Day? Sudah semestinya kita menyadari sejak dini, agar
jangan sampai kita terperosok lebih jauh lagi. Tidak perlu kita iri hati dan
cemburu dengan upacara dan bentuk kasih sayang kepercayaan lain. Bukankah
Allah itu Ar Rahman dan Ar Rohim yang disemayamkan ke dalam hati kecil
setiap manusia. Bukan hanya sehari untuk setahun. Tetapi yang jelas kasih
sayang di dalam Islam lebih luas dari semua itu.***
0 komentar:
Posting Komentar